Oleh: Moeltazam (HMI Komisariat Hukum Uika Cabang Kota Bogor)
Sejak berdirinya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) mempunyai komitmen asasi yakni: keislaman dan kebangsaan. Perjalanan sejarah perjuangan HMI untuk meraih kemerdekaan yang hakiki dan dalam pembangunan negeri ini tak dapat dielakkan. Namun, pasang surut perjuangan pasti menghampiri secara eksternal juga internal.
Termasuk perpecahan yang terjadi dalam rumah tangga HMI yang menolak penggunaan Pancasila sebagai asas tunggal (15/03/86). Dari situlah kebobrokan tubuh HMI mengungkapkan secara gamblang hingga sekarang.
Diindikasikan ‘krisis kader' secara kuantitas lebih-lebih secara kualitas yang jauh dari basis akhlakul karimah. Sehingga muncullah orang-orang tak bertanggung jawab yang menjadikan himpunan diambang kemunduran-kehancuran.
Apabila HMI hanya berorientasi pada politik, akibatnya proses perkaderan terabaikan. Apalagi, saling tarik ulur kursi jabatan tanpa aturan. Hanya melahirkan konflik tak ada habisnya. Sebut saja, peristiwa penggulingan ketua umum PB HMI hasil pleno II PB HMI (kumparan.com 28/02/18) terlepas dari kasus asusila yang menjerat ketua umum PB HMI.
Tidak menutup kemungkinan ada sekelompok orang ingin berkuasa di HMI. Dan terjadilah dualisme kepemimpinan yang sama-sama berselimut pengkhianatan konstitusi. Sebagai implikasi atas dinamika internal pula, beberapa minggu lalu (09/01/21) Majelis Pengawas dan Konsultasi Pengurus Besar HMI (MPK PB HMI) melaksanakan sidang untuk menginstruksikan Pejabat Sementara (Pjs) supaya segera menjelmakan Pejabat ketua umum PB HMI (yakusa.id 10/01/21). Padahal, setelah pengunduran diri ketua umum hasil mandataris kongres Ambon telah mengeluarkan Surat Keputusan kepengurusan baru. Bagaikan disambar petir di siang bolong.
Ini telah mencoreng marwah HMI sebagai prodak lahirnya generasi emas di masa depan, yang hanya menjadikan lumpur sejarah.
Jika kita membuka laci ingatan, tersimpan sejarah indah ketika Rasulullah saw diiming-imingi keindahan duniawi oleh Utbah bin Robi’ah supaya berhenti berdakwah atau menurut riwayat At-thabrani orang-orang musyrik akan menyembah Tuhan Nabi Muhammad selama satu tahun, begitu pun sebaliknya. Utbah menawarkan: harta, kemuliaan, kerajaan dan obat mujarab dan keindahan dunia lainnya.
Akan tetapi, Rasulullah tidak menginginkan dan tidak tertarik atas tawaran Utbah. Rasulullah memilih terus melanjutkan misi kenabiannya.
Berdakwah tanpa kenal lelah, beliau tetap mempertahankan independensinya, tidak mudah di intervensi siapapun “Andaikan matahari diletakan di tangan kananku wahai Paman, dan bulan di tangan kiriku, demi Allah, saya tidak akan meninggalkan perkara ini, atau saya binasa.” (Ghazali:2008: 237). Itulah jawaban Nabi saw. terhadap tawaran yang begitu menggiurkan yang diajukan oleh para penguasa Mekah.
Dengan demikian, sebagai umat Nabi Muhammad SAW juga sebagai kader umat dan bangsa, pengurus HMI harus melek akan sejarah di atas, mengimplementasikannya dalam ‘kawah candradimuka’ di tengah ancaman eksternal begitu cepat kita masih menghitung bilangan pejabat (pj) di usia ke tujuh puluh empat (74) HMI telah memberikan kontribusinya terhadap bangsa dan umat.
Sepatutnya, warga HMI saat ini saling mengingatkan atas amanah yang di emban, khusunya pengurus besar HMI seharusnya dijadikan sebagai teladan segera rujuk kembali pada rel konstitusi.
Sehingga tidak mengurangi muruah secara personal dan nama baik organisasi. Karena, Perjuangan politik yang ingin dicapai itu bukan hanya untuk mengisi ruang kekuasaan tetapi lebih banyak pada ruang pengabdian.
Akhirnya, agar tidak tergerus oleh zaman, mau tidak mau kesadaran kolektif harus di tanamkan dalam lubuk hati, HMI harus berani mereformasi diri untuk membangun kembali HMI, menjemput masa depannya yang lebih baik dari masa lalu demi meraih cita-cita untuk membentuk karakter kualitas insan cita dan masyarakat cita.
Terakhir dari penulis, untuk membersihkan syahwat duniawi dalam diri, sebaiknya senantiasa meneladani insan paripurna yakni Nabi Muhammad saw.