Harian Ummat ■ Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) Fatia Maulidiyanti mengatakan, penembakan mati enam laskar Front Pembela Islam (FPI) oleh kepolisian sebagai pelanggaran atas hak asasi manusia (HAM). Ia juga mengatakan penembakan itu sebagai bentuk penghinaan terhadap proses hukum dan pengingkaran terhadap azas praduga tak bersalah dalam pencarian keadilan.
“KontraS melihat ini (pembunuhan laskar FPI) terang merupakan pelanggaran HAM, pelemahan terhadap hukum, dan mencelakai yang namanya praduga tidak bersalah,” kata Fatia, dalam diskusi daring bertema ‘6 Nyawa dan Kemanusian Kita’, pada Jumat (25/12) malam.
Fatia mengatakan, ada beberapa aspek yang meyakinkan KontraS menilai insiden tol Japek Km 50 tersebut sebagai pelanggaran HAM. Ia mengatakan, Polri merupakan institusi resmi negara dalam penegakan hukum.
Namun, ia mengatakan pembelaan diri kepolisian bahwa penembakan dilakukan sebagai upaya pembelaan diri merupakan keterangan sepihak, dan tak dapat dibuktikan. Ia pun menilai pembelaan diri itu sebagai upaya yang dipaksakan agar dipercayai publik.
Selain itu, ia mengatakan, tindakan yang tidak dapat dibuktikan menjadi sebuah penghinaan bagi proses hukum. "Hukum itu seperti tidak berguna untuk melakukan pembuktian atas dugaan tindak pidana (penyerangan). Jadi, sebenarnya sudah tidak bisa adil. Karena, sudah tidak bisa dibuktikan, karena orang-orangnya (yang dituduh kepolisian menyerang) sudah dibunuh, dan meninggal,” kata Fatia.
Fatia mengatakan, KontraS juga mempertanyakan dalih pembelaan diri dari kepolisian tersebut. Dalam melakukan penegakan hukum, Fatia mengatakan, kepolisian seharusnya hanya menembak untuk melumpuhkan lawan.
Fatia mengacu pada Perkapolri 1/2009 yang berisikan aturan-aturan tentang pelumpuhan dengan senjata api. “Yang namanya pelumpuhan, ya jelas untuk melumpuhkan. Bukan untuk mematikan. Berarti di bagian tubuh yang memang tidak mematikan,” kata Fatia.
Akan tetapi, dia mengatakan, dari dokumentasi jenazah pascakejadian, luka-luka tembak di sekujur tubuh enam laskar FPI tersebut, jelas memperlihatkan bagian-bagian vital sebagai target tembakan. Kebanyakan di dada kiri yang menyasar jantung dan tak ada satupun luka bekas peluru tajam yang mendarat pada bagian-bagian yang dimaksud untuk melumpuhkan.
Fatia menambahkan, pelanggaran HAM kepolisian terhadap enam laskar FPI ini sebetulnya bukan kasus penembakan dengan sewenang-wenang yang pertama kali. Fatia mengatakan, catatan KontraS, dalam tiga bulan terakhir terdapat 29 kasus penggunaan senjata api berpeluru tajam yang dilakukan oleh kepolisian dengan cara serampangan. Namun dari catatan-catatan kasus tersebut, tak ada satupun perkaranya yang berujung pada pemberian sanksi pemidanaan untuk dampak jera.
Karena itu, Fatia mengatakan, KontraS mendesak agar Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dapat menjalankan perannya sebagai investigator atas pembantaian yang terjadi di tol Japek Km 50 tersebut. Komnas HAM juga harus menjelaskan kepada publik, atas kronologi peristiwa yang paling akurat.
“Kita harus tetap mendukung Komnas HAM, dalam investigasinya soal pembunuhan, dan pelanggaran HAM ini, atau penembakan sewenang-wenang ini,” kata Fatia menambahkan.
Enam laskar FPI yang ditembak mati di tol Japek Km 50, pada Senin (7/12) dini hari, yakni Faiz Ahmad Sukur (22 tahun), Andi Oktiawan (33), Ahmad Sofyan alias Ambon (26), Muhammad Reza (20), Luthfi Hakim (25), dan Muhammad Suci Khadavi (21). Kapolda Metro Jaya Irjen Fadil Imran, dalam pernyataan resminya, pun menegaskan, penembakan mati terhadap enam anggota FPI itu, sebagai respons atas penyerangan terhadap petugas kepolisian.
Sumber : Republika