-->
  • Jelajahi

    Copyright © HarianUmmat.com | BERITA ISLAM INDONESIA
    Best Viral Premium Blogger Templates

    KRIMINAL

    Di Balik Pesan Revolusioner Serangan Iran Terhadap Israel

    HarianUmmat.com
    Senin, April 15, 2024, 20:30 WIB Last Updated 2024-04-15T13:30:59Z

    Oleh: Muhammad Thaufan Arifuddin, MA., PhD.Cand

    Penulis Adalah: Dosen Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas

    Iran baru saja melancarkan serangan militer yang bersejarah ke jantung wilayah Israel pada 13 April 2024 sebagai balasan atas serangan Israel terhadap fasilitas diplomatik Iran di Damaskus, Suriah, yang menewaskan dua Jenderal Iran dua minggu sebelumnya (1/4/2024).

    Tetapi, jauh dari bayangan dan ekpektasi semua orang, serangan ini lebih menyerupai dakwah seorang muslim yang baik kepada seorang yang angkuh dan biadab. Iran sedang memberitahukan kepada Israel untuk tidak angkuh, tidak bertindak irasional di kawasan dan apalagi menormalisasi kebiadaban membunuh manusia di Palestina.

    Buktinya, Iran tak menyerang warga sipil dan fasilitas publik. Iran hanya menargetkan dua lokasi militer Israel. Serangan itupun hanya berlangsung selama kurang lebih lima jam. Iran bahkan setelah serangannya selama lima jam mengatakan bahwa Iran telah selesai dengan serangan balasan dan berharap Israel tidak melakukan serangan balasan sebab Iran akan merespon sebesar apa serangan Israel di wilayah Iran.

    Ada tiga kata kunci untuk memahami serangan strategis Iran ini yaitu pertama, Shiah, kedua, Revolusi Islam Iran dan Ketiga Ali Khamenei dan Sistem Vilayati Faqih. Eksplorasi mendalam terhadap ketiga hal ini akan memberikan pemahaman komprehensif di balik nalar strategis serangan militer Iran ke Israel.

    Pertama, Shiah.  Jika melihat wacana yang berkembang di publik terutama di Indonesia terdapat banyak kesalahan dalam memahami Shiah karena kurang mendalamnya pemahaman filsafat teologi dan khazanah fiqih lintas mazhab di kalangan masyarakat.

    Shiah lebih dikenal sebagai ajaran ahlul bait yang mengacu kepada supremasi ajaran Islam yang diamalkan langsung oleh Nabi Muhammad SAW dan keluarganya terutama dari jalur keturunan Ali Bin Abi Thalib dan Fatimah Azzahra. 

    Ajaran Shiah adalah tafsir ajaran Islam yang lebih revolusioner karena Shiah tidak memisahkan Islam dari politik keadilan. Dalam pengembangan tafsir ushuluddinnya, Shiah meyakini Islam dari perspektif tauhid yang utuh, meyakini dengan pasti keadilan Allah, keniscayaan akan kenabian, pentingnya kepemimpinan dan kepastian datangnya hari akhir.

    Sejatinya, Shiah hanyalah perspektif dalam mengenali kejernihan khazanah filsafat tauhid dan fiqih Islam diantara beberapa perspektif lain misalnya 6 (enam) mazhab lain yaitu Syafii, Maliki, Hambali, Hanafi, Ibadi, dan Zahiri yang diterima dalam Deklarasi Amman (The Amman Message) sejak 2004 oleh pemimpin mazhab dan politik dari berbagai belahan bumi (https://ammanmessage.com/).

    Shiah adalah perspektif Islam yang dinamis, rasional dan politis. Dinamis dalam arti Shiah masih membuka pintu Ijtihad (bagi yang berhak berijtihad) dan sangat ketat dalam memegang prinsip Fikih Islam. Dinamika ini membuat Shiah mampu melahirkan pakar-pakar Islam dari model pendidikan unik tradisional-modern di berbagai bidang misalnya Filsafat, Teologi, Fikih, Hadis, dan Tafsir di zaman sekarang. 

    Silakan anda berkunjung ke salah satu kota bernama Qom di Iran maka anda akan mendapatkan ratusan bahkan mungkin ribuan pakar dan calon pakar di bidang keilmuan Islam. Tradisi keilmuan Shiah sudah terbangun sejak berabad-abad yang silam dan masih bertahan hingga hari ini. 

    Iran melahirkan banyak pakar di bidang agama yang dikenal dengan nama ayatullah. Inilah mengapa Iran disebut sebagai negeri para ayatullah. 

    Rasional artinya Shiah dalam memahami Islam sangat memuliakan akal sebagaimana akal dalam perspektif para filsuf Islam misalnya Alkindi, Alfarabi, Ibnu Rusyd, Ibnu Sina di mana akal adalah cahaya yang menerangi kegelapan. Sebagai misal, Shiah dalam memahami hukum Islam di zaman modern, para ahli hukum Islamnya yang dikenal sebagai Marja menetapkan hukum secara rasional didasarkan Ilmu Keislaman yang luas yang dipelajarinya hampir di sepanjang hidupnya. Sangat banyak Marja yang dilahirkan oleh model pendidikan agama Islam dalam tradisi Shiah hingga hari ini. 

    Politis maksudnya Shiah sangat menyadari nalar sejarah manusia sebagai pentas politik antara Kebenaran (Alhaq) versus Kebatilan (Albatil) sehingga penganut Shiah memperjelas posisi Ke-Islamannya di pihak kebenaran untuk melawan semua jenis watak Kebatilan dan variannya.  Shiah tidak boleh diam melihat kebatilan yang nyata. Di sinilah, Iran yang bermazhab Shiah tak mungkin berdamai dengan Israel yang biadab dan penuh dengan tindakan kebatilan menzalimi rakyat Palestina.

    Dengan kata lain, nalar keagamaan yang menyolok dari Shiah ini akan cenderung mengharuskan pengikut Shiah termasuk Iran sebagai negara untuk melawan semua kebatilan yang mewujud dalam bentuk manusia, negara, atau cara pandang yang zalim. 

    Inspirasi politik Shiah berasal dari kesyahidan Imam Husein yang merupakan cucu Nabi dan anak dari Ali dan Fatimah yang dianggap menjadi Imam ke-4 dalam perspektif Shiah, yang menjemput kematiannya melawan rezim Yazid bin Muawiyah untuk menegakkan kebenaran hakiki dalam politik di  sepanjang sejarah manusia di muka bumi. 

    Dalam tiga dimensi ini, Shiah seharusnya diterima oleh manusia hanif manapun dari perspektif Islam apapun. Jika ada perbedaan dalam tata cara memahami dan mengamalkan ajaran Islam maka itu wajar karena Shiah dan cara pandang ke-Islaman di Indonesia berbeda sudut pandang saja.
     
    Nalar kebanyakan muslim Indonesia adalah beraliran fikih Syafi'i dan berteologi Asy'ari-Maturidi yang cenderung konservatif. Jika ada muslim Syafi'i berteologi Asy'ari Maturidi yang reformis-kritis berarti mereka generasi protestan muslim di Indonesia. 

    Mereka boleh jadi membaca Filsafat Barat ala Marx-Foucault, menelaah pemikiran Islam kontemporer ala Fazlur Rahman, Naquib Al-Attas, Abid Al Jabiri, Arkoun, Hassan Hanafi dll, atau bergabung dengan Gerakan Islam Internasional misalnya Ikhwanul Muslimin yang menjelmakan PKS/KAMMI atau Hizbuttahrir.  

    Sedangkan, nalar ke-Islaman Shiah menjadikan Keluarga Nabi (Ahlulbait) sebagai tonggak keteladanan dan pemegang pengetahuan Islam yang sempurna paska Nabi Muhammad SAW. Tentu saja, Islam itu kebenaran yang absolut secara doktrinal, tetapi cara memahami Islam sangat relatif bagi muslim umumnya sehingga meniscayakan adanya Nabi (Kenabian) dan adanya Pemimpin Suci (Imamah) untuk menjelaskan absolutisme Islam. Asumsinya adalah kebenaran Islam yang sejati harus diterima dari tangan yang suci sebab jika diterima dari tangan yang munafik walaupun hanya sebesar zarrah maka kebenaran Islam diragukan.
     
    Kedua, Revolusi Islam Iran. Mengetahui revolusi Islam Iran dapat menjelaskan pesan penting di balik serangan Iran terhadap Israel pada 13 April 2024 sebab revolusi ini adalah inspirasi politik Iran hingga hari ini.

    Anggapan umum tak akan mempercayai bahwa tak mungkin seorang ulama yag telah berumur mampu merancang revolusi radikal yang hingga saat ini masih bertahan dan beradaptasi melebihi inspirasi-inspirasi ideologi perlawanan lainnya, dan mampu mengimbangi dominasi kapitalisme liberal sebagai watak zaman yang pragmatis.

    Ini tak lain dan tak bukan karena adanya sosok ulama kharismatik bernama Imam Ruhullah Khomeini. Khomeini dilahirkan di Khomein, areal Isfahan. Ia belajar agama Islam secara ketat sedari kecil hingga menjadi professor (ayatullah) di bidang agama Islam.

    Harus dicatat bahwa tradisi belajar agama di Iran itu berjenjang secara teoretik dan amaliyah, dari tingkat paling mudah hingga tersulit, dari fiqih keseharian hingga thariqat-tasawwuf menghilangkan egoisme kemanusiaan bernama shahadah politik. 

    Itulah yang dijalani Imam Khomeini di bawah bimbingan banyak professor-professor agama yang dilahirkan sejak Iran Persia mengenal Islam. Pemikiran politik awal Imam Khomeini berada di bawah bayang-bayang dua mazhab besar saat itu yaitu mazhab Hairi Yazdi yang moderat kepada penguasa dan mazhab Mudarris yang berani dann progressif menentang rezim Reza Shah. 

    Khomeini memilih berkiblat kepada Mudarris. Bakat berpolitik Khomeini telah terlihat sejak awal hingga ia memberi pengajaran akhlak dan Irfan. Namun demikian, adalah lazim bahwa di Iran ulama-ulama besar akan selalu mengkonsumsi pemikiran-pemikiran yang relatif sama dari fikih Islam hingga pemikiran tinggi filosofis, yang dikenal dengan istilah Irfan dan teosofi transendental. Kedua tradisi inilah yang sesungguhnya menjadi akar inspirasi revolusi politik Khomeini.

    Pemikiran Irfan dan teosofis Khomeini berkiblat kepada Ibnu Arabi dan Mullah Shadra, terutama pemikiran empat perjalanan yang seharusnya dilakukan oleh setiap yang mengaku sebagai ulama. Apakah konsekuensi logis dari berirfan dan berteosofis ini?  Irfan dan teosofis transendental ini mengantarkan Khomeini pada puncak pemikiran bahwa hanya realitas Tuhan yang ada di bumi ini dan hanya perjalanan bersama Tuhan saja yang layak dijalani. Kezaliman dan ketidakadilan rezim shah harus ditumbangkan. Karena mewakili kekuatan thogut dan menghamba pada Barat.
     
    Sesungguhnya pergerakan Khomaini tidaklah mudah, sebab harus berkompetisi dengan pemikiran-pemikiran besar lainnya yang tumbuh di Iran di masanya, dari pemikiran kiri yang diwakili Tudeh maupun liberal Islam yang disemai banyak kalangan terpelajar Iran saat itu. 

    Revolusi Khomeini tak akan berhasil sama sekali jika tak dibantu oleh ulama-ulama besar yang berfungsi sebagai intelektual revolusioner, kawan-kawan dekat dan massa rakyat Iran sejak awal. Dua nama besar yang menurut saya sangat berkontribusi, tanpa menafikan lainnya, menyokong Khomeini dalam melancarkan revolusi Islam di Iran yaitu Murtadha Mutahhari dan Ali Shariati. 

    Kedua figur ini melakukan pembaharuan pemikiran Islam. Mutahhari melakukan kritik internal pemikiran Islam dan politik dan mengajukan tesis-tesis baru yang lebih segar menantang kritik dari luar terutama fondasi epistemologis Marxisme, sedang Ali Shariati menteologikan Islam senalar dengan nyawa revolusi Marxisme dan memolesnya seirama dengan pemikiran poskolonial Fanon, berpihak kepada kaum Mustadafin.  Pesona liberal dan kaum kiri akhirnya bisa diredam di bawah perjuangan politik Khomeini.

    Terorganisirnya ulama dan massa rakyat untuk berjuang bersama Khomeini menumbangkan Rezim Shah sebagai faktor utama kesuksesan revolusi Islam bisa dibaca secara jelas dalam catatan Martin (2003). 

    Di internal ulama Iran bukan tak ada pergesekan. Sejak awal, mereka terpecah dan ragu melawan rezim. Tapi di bawah Khomeini, dengan kharismany, bahkan ketika harus exile ke Prancis, para pengikutnya masih loyal menyebarkan selebaran pesan revolusinya yang disisipkan lewat koper-koper penumpang masuk pesawat ke Iran. 

    Tentu, revolusi Khomeini tak akan bisa dipahami tanpa memahami tradisi pemikiran Islam yang tinggi, dalam dan revolusioner, yang dihasilkan dari memahami pembahasan tingkat tinggi filsafat Islam yang dikenal dengan Irfan dan Teosofi transendental. 

    Tradisi pemikiran ini tumbuh berkembang di kalangan akademik Persia sebagai hal yang lumrah. Dan sesungguhnya pemikiran ini hanya keberlanjutan dari filsafat platonis.

    Jadi Islam yang menyimpan hikmah dan ilmu pengetahuan akhirnya menemukan muaranya dalam kombinasi teks-teks suci yang normatif dan filsafat yang elaboratif.

    Ketiga Ali Khamenei dan Vilayati Faqih. Untuk memahami serangan Iran ke Israel yang sangat presisi dan strategis tak bisa dilepaskan dari peran pemimpin spiritual Ali Khamenei yang dikenal dalam bahasa Iran sebagai Rahbar (pemimpin). Ali Khamenei lah yang memerintahkan penyerangan terhadap Israel bukan hanya secara hukum internasional untuk membalas serangan Israel terhadap fasilitas diplomatik Iran di Damaskus, Suriah, tetapi juga menampar wajah Israel yang secara brutal dan biadab bertindak irasional di kawasan.

    Ali Khamenei sejatinya hanya melanjutkan kepemimpinan spiritual Islam yang telah diletakkan oleh Imam Khomeini, pemimpin besar Revolusi Islam Iran, setelah beliau meninggal pada tahun 1989. Konsep kepemimpinan yang dilanjutkan oleh Ali Khamenei dikenal dengan istilah Vilayati Faqih. Tentu Imam Khomeini banyak menciptakan pemikiran melalui tulisan-tulisannya seputar Irfan dan politik. Namun, salah satu yang paling berkesan dan bertahan hingga hari ini adalah pemikirannya tentang Vilayati Faqih atau kepemimpinan ulama. 

    Pemikiran ini tak hanya memacu dan memicu revolusi Khomeini tapi juga sebuah jawaban dari pertanyaan mengapa republik Islam Iran masih berdiri saat ini di bawah rezim agama yang dianggap oleh kalangan yang sinis sebagai hal yang tak mungkin. 

    Vilayati Faqih adalah konsep kepemimpinan politik ulama Islam. Tak wajar, kata Khomeini, ulama yang pandai, wakil Tuhan di bumi, duduk meminta belas kasihan di pintu penguasa. Ulama lah yang seharusnya memimpin sebuah negara sebagai amalan tertinggi mengurus ummat dan mengarahkan perjalanan spiritual masyarakat menuju titik kesempurnaanya sebagai masyarakat yang beradab dan maju hingga akhir zaman.

    Vilayati Faqih adalah konsep ijtihad Khomeini yang dibangun dari kebiasaan mengolah nalar dalam tradisi keIslaman di Persia.

    Sejak kecil setiap pelajar harus belajar logika agar bisa menalar teks-teks agama yang paling rumit. Sebagai konsep yang rasional, konsep ini akan selalu beradaptasi bahkan hingga hari ini setelah lebih dari 44 tahun revolusi. 

    Alhasil, serangan Iran ke Israel adalah serangan yang paling cerdas dalam sejarah. Iran tak ingin melanggar aturan internasional dan aturan agama. Tetapi, Iran bersiap untuk merespon balik reaksi dari Isarel dan sekutunya. Iran yakin bahwa setiap kebenaran pasti akan mengalahkan kebatilan.  Tentu saja, ajaran Shiah, revolusi Iran dan Vilayati Faqih adalah spirit yang mengilhami serangan Iran terhadap Israel. Iran ingin melawan kebatilan secara strategis hingga akhir zaman. (*)

    Comment

    Tampilkan

    LATEST NEWS