HARIAN UMMAT | MAKASSAR — Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti mengapresiasi Wahdah Islamiyah yang konsisten mempraktikkan nilai-nilai bangsa dalam bernegara yang termaktub di dalam Pancasila, yaitu musyawarah. LaNyalla pun mengajak Wahdah Islamiyah untuk turut serta dalam perjuangan mengembalikan Pancasila seutuhnya sebagai falsafah dasar negara.
Hal itu disampaikan secara virtual oleh LaNyalla saat membuka Musyawarah Kerja Nasional ke-XVI Dewan Pengurus Pusat Wahdah Islamiyah yang diselenggarakan di Makassar, 23-26 November 2023.
"Saya mengajak kepada seluruh anggota Wahdah Islamiyah untuk terus memperjuangkan Pancasila sebagai Falsafah Dasar Negara, sekaligus sebagai nilai-nilai yang berjalan seiring dengan nilai-nilai ajaran Islam," kata LaNyalla, Kamis (23/11/2023).
Senator asal Jawa Timur itu memaparkan, para pendiri bangsa ini telah memilih sistem Syuro, yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai lembaga tertinggi negara. MPR itulah sebagai tempat bagi penjelmaan seluruh rakyat Indonesia untuk menentukan arah perjalanan bangsa dan negara ini. Mengapa demikian, karena sejatinya pemilik kedaulatan negara ini adalah rakyat.
"Inilah sistem asli Indonesia. Sistem bernegara yang berasaskan Pancasila. Sistem yang dirancang dan disepakati para pendiri bangsa," terang LaNyalla.
Bukan tanpa alasan pula mengapa para pendiri bangsa kita menggunakan kalimat; ‘Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan’. Sebab, kata LaNyalla, memang mereka yang bermusyawarah untuk menentukan arah perjalanan bangsa dan negara ini sejatinya haruslah para hikmat, yaitu orang-orang yang memiliki kebijaksanaan dan keilmuan.
"Sehingga, MPR sebagai lembaga tertinggi tidak hanya dihuni oleh anggota DPR yang dipilih melalui Pemilu Legislatif, tetapi juga dihuni oleh utusan dari golongan-golongan masyarakat dan unsur-unsur yang terkait dengan kesejarahan wilayah atau daerah," papar LaNyalla.
Dengan demikian, mereka yang berada di lembaga tertinggi negara itu benar-benar utuh dan lengkap sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia. Mereka kemudian bermusyawarah menentukan haluan negara sebagai wujud kehendak politik rakyat, sekaligus memilih mandataris untuk melaksanakan haluan negara tersebut.
"Sistem yang sangat sempurna itu akhirnya kita ganti dengan sistem bernegara ala barat yang individualis dan liberal, melalui amandemen konstitusi pada tahun 1999 hingga 2002 yang lalu," tutur LaNyalla.
Amandemen itu dilakukan karena kita menganggap bahwa sistem rumusan pendiri bangsa itu identik dengan sistem orde baru. Padahal, apa yang terjadi di era orde baru, bahkan orde lama, adalah praktik penyimpangan dari sistem bernegara rumusan asli dari para pendiri bangsa.
Akibatnya, LaNyalla menilai sejak reformasi hingga hari ini bangsa ini semakin miskin negarawan. Tetapi dipenuhi dengan politisi yang hadir melalui industri pencitraan dan popularitas. Bangsa ini seolah menjadi bangsa lain. Semakin kehilangan jati diri, moral, adab dan etika.
"Yang semakin kita rasakan justru sebaliknya. Bangsa ini semakin terpolarisasi dan terbelah. APBN dan APBD dikeluarkan besar-besaran hanya untuk pemilihan langsung Presiden dan Kepala Daerah yang ditentukan oleh partai politik, yang kemudian dipoles oleh lembaga survey dan media untuk meningkatkan popularitas dan elektabilitas," terang LaNyalla.
Oleh karena itu, setelah menelaah dengan jernih, LaNyalla menyebut di DPD RI melalui Sidang Paripurna pada tanggal 14 Juli 2023, DPD RI secara kelembagaan memutuskan mengambil inisiatif kenegaraan untuk membangun kesadaran kolektif kepada seluruh elemen bangsa dan negara ini, agar kita kembali menjalankan dan menerapkan asas dan sistem bernegara Pancasila sesuai rumusan para pendiri bangsa, yang disempurnakan dan diperkuat.
Dijelaskan LaNyalla, penyempurnaan dan penguatan ini tentunya memperhatikan amanat tuntutan Reformasi. Oleh karenanya, LaNyalla menyebut DPD RI menawarkan penyempurnaan dan penguatan dengan melakukan amandemen dengan teknik adendum terhadap Undang-Undang Dasar naskah 18 Agustus 1945. Amandemen yang dilakukan tidak mengganti sistem bernegara Pancasila dengan sistem Barat yang Liberal dan kapitalistik.
"Dengan demikian, kita sebagai bangsa telah kembali kepada Pancasila secara utuh. Sekaligus kita sebagai bangsa akan kembali terajut dalam tekad bersama di dalam semangat Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Musyawarah dan Keadilan Sosial," demikian LaNyalla.(*)