by M Rizal Fadillah
Dengan gagah Menko Polhukam Prof. Dr. M. Mahfud MD, SH, SU, MIP berdiri di belakang mimbar membacakan SKB yang ditandatangani Menhukham, Mendagri, Menkominfo, Kapolri, Jaksa Agung, dan Krpala BNPT. Para Menteri dan petinggi itu berdiri di belakang sang Menko. Termasuk Panglima TNI, Kepala BIN, dan Kepala PPATK. Yang dibacakan adalah Keputusan Pembubaran dan Pelarangan Front Pembela Islam (FPI).
Akan tetapi bila dicermati pengumuman dipimpin pak Menko itu sebenarnya tidak terlalu berarti dan seperti "menembak meriam untuk membunuh kelinci". Sekurang- kurangnya ada tiga hal yang menjadi alasan, yaitu :
Pertama, tidak diperpanjangnya status badan hukum FPI atas hambatan Pemerintah sendiri. FPI sebagai ormas yang tidak terdaftar berada di luar jangkauan Kementrian yang berhak membubarkan. Disebutkan bahwa terhitung tanggal 21 Juni 2019 FPI tidak memiliki SKT. Tentu pembubaran menjadi sia-sia atau tak bermakna karena "membubarkan yang secara hukum telah bubar".
Kedua, sebagai ormas "tidak berbadan hukum" dengan pembubaran oleh Pemerintah ini maka dengan mudah pula FPI dapat membentuk ormas baru, pembentukan mana jelas mendapat perlindungan Konstitusi. Hak berserikat dan berkumpul. Terberitakan telah dideklarasikan Front Persatuan Islam (FPI).
Ketiga, jika pembubaran dan pelarangan FPI dimaksudkan untuk mengalihkan isu dari kasus 6 anggota Laskar FPI yang dibantai di Km 50 maka itu akan gagal. Ketika keterkaitan keanggotaan FPI dengan organisasi FPI ingin dipotong oleh keputusan pembubaran, maka keenam syuhada telah bergeser menjadi warga masyarakat biasa, artinya kepedulian menjadi lebih luas, baik seluruh masyarakat Indonesia maupun dunia. 6 manusia dibunuh secara sadis.
Pembubaran FPI yang diharapkan memudahkan langkah Pemerintah dalam menangani atau menutupi persoalan khususnya "Km 50" nyatanya menambah rumit. Berlapis kini gumpalan magnet kepedulian rakyat terhadap FPI. Ada HRS yang dikriminalisasi secara vulgar, lahan Mega Mendung yang menjadi kesana sini termasuk lahan Jenderal Polisi, pembubaran dan pelarangan yang melanggar due process of law, serta tentu yang menjadi sentral adalah pelanggaran HAM berat pembunuhan dan pembantaian 6 orang "warga sipil" oleh aparat.
Sindiran seorang "cebong" yang menyatakan FPI telah mati syahid akibat pembubaran melalui SKB ini terjawab mudah dengan ayat Al Qur'an "bal ahya"--tidak, melainkan hidup.
"Janganlah engkau mengatakan orang yang gugur di jalan Allah itu mati, tidak mereka itu hidup. Tetapi engkau tidak mengetahui" (QS Al Baqarah 154).
*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Bandung, 31 Desember 2020