HU - BANDAR LAMPUNG – Dalam sunyi ruang kerja Kepala Bapenda Provinsi Lampung, sebuah percakapan berani menggetarkan dinding birokrasi. Senin pagi (4/8/2025), Ketua Umum DPP Aliansi Indonesia Bersatu, Hadie Reyandi Chandra, datang bukan sekadar bersilaturahmi. Ia membawa api—nyala keberanian dan suara-suara rakyat kecil yang selama ini nyaris tak terdengar.
Dengan mata tajam dan suara bergetar, Hadie menatap Slamet Riadi, Kepala Bapenda yang kini menjadi simbol perlawanan baru. “Satu-satunya OPD yang berani mendobrak tembok tebal korporasi raksasa—itu hanya ada di era ini,” ucapnya, memberi pujian yang terasa seperti tamparan bagi pemerintahan-pemerintahan sebelumnya.
Bukan pujian kosong. Fakta menunjukkan, perusahaan-perusahaan besar seperti PT Sugar Group Companies (SGC), PT SIL, dan GPM akhirnya membayar pajak kendaraan bermotor dan alat berat mereka. Tagihan yang selama ini menggantung, akhirnya dilunasi. Tapi perjuangan belum usai—pajak air permukaan masih dalam penghitungan.
Namun, bukan hanya soal pajak. Hadie menyoroti luka lama yang belum sembuh: dugaan kelebihan lahan Hak Guna Usaha (HGU) yang dikuasai PT SGC. Lahan yang seharusnya milik masyarakat adat, petani kecil, dan generasi penerus di Tulang Bawang, Tubaba, Lampung Tengah, dan Mesuji.
“Saya turun langsung ke Tulang Bawang. Warga menangis. Mereka pikir kunjungan Menteri ATR/BPN akan jadi harapan terakhir. Tapi ternyata, hanya tinggal kekecewaan yang mereka genggam,” ujar Hadie dengan nada lirih namun menyentak.
Hadie pun mengutip pernyataan Menteri ATR/BPN Nusron Wahid, yang menyatakan bahwa pengukuran ulang lahan adalah tanggung jawab pemilik, bukan negara. Hadie menegaskan: jika negara tak sanggup, rakyat bisa galang dana.
“Apa artinya Rp10 miliar dibanding puluhan ribu hektar lahan yang seharusnya bisa menghidupi jutaan anak bangsa? Kalau negara diam, rakyat harus bersuara!”
Lebih menyayat, Hadie juga menyinggung keterlibatan dua petinggi PT SGC, Purwanti Lee dan Gunawan Yusuf, dalam kasus Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) senilai Rp70 miliar—uang yang digunakan untuk menyuap urusan hukum di Mahkamah Agung. Nama mereka kini telah dicekal oleh Kejaksaan Agung. Ini bukan sekadar bisnis—ini luka keadilan yang menganga.
Dengan penuh semangat, Hadie mengajak seluruh elemen Lampung bersatu: dari KNPI, Laskar Lampung, hingga ormas-ormas lokal. Ia tak ingin tanah kelahiran dikuasai segelintir elit yang terus mengeruk kekayaan, sementara rakyat hanya menjadi penonton.
“Kalau Singkong tak bisa bertahan, mari kita tanam tebu. Tapi tolong, beri tanahnya dulu. Sudah terlalu lama rakyat kita berdiri di pinggir pagar, melihat lahan mereka sendiri dikuasai.”
Hadie yakin, jika keadilan agraria ditegakkan dan ekonomi rakyat dibangkitkan, maka PAD Provinsi Lampung akan melonjak. Jalan-jalan membaik, petani makmur, rakyat sejahtera—dan mimpi Gubernur Rahmat Mirzani Djausal serta Presiden Prabowo Subianto tentang Indonesia adil dan makmur akan benar-benar terwujud.
“Ini bukan tentang pajak, ini tentang harga diri. Tentang tanah. Tentang siapa yang berhak hidup layak di negeri sendiri,” tegas Hadie, menutup kunjungannya dengan sorot mata yang masih menyala.
Editor : Arif Ashifudin