HU -- Bandar Lampung, Klarifikasi Ketua Umum Gerakan Pembangunan Anti Korupsi (GEPAK), Wahyudi, atas penangkapannya bersama rekannya, membuka tabir baru yang lebih serius dari sekadar isu pemerasan.
Menurut Wahyudi, yang terjadi bukan dirinya menerima “uang damai”, melainkan adanya pihak rumah sakit daerah (RSUDAM) yang justru menawarkan kompensasi untuk membungkam aksi demonstrasi.
Di ruang Jatanras Polda Lampung, Senin (22/9/2025), Wahyudi menegaskan bahwa ia sama sekali tidak pernah meminta ataupun menerima uang perdamaian. Ia bahkan menyebut bahwa pertemuan di Mall Boemi Kedaton pada 19 September 2025 dilakukan atas permintaan Kabag Umum RSUDAM, Sabaria Hasan, bukan inisiatifnya.
> “Yang beredar seolah-olah saya memeras, padahal faktanya justru ada pihak rumah sakit yang mengajak bicara soal ‘uang damai’. Saya menolak. Kalau akhirnya ada uang yang diselundupkan lewat plastik hitam ke mobil saya, itu bukan permintaan saya. Polisi harus jujur membuka fakta ini,” ujar Wahyudi.
Pernyataan Wahyudi (GEPAK) langsung ditanggapi LSM Pro Rakyat. Ketua Umum LSM PRO RAKYAT Aqrobin A.M didampingi oleh Sekretaris Umum Johan Alamsyah, S.E menegaskan bahwa kasus ini jangan dipandang sebagai persoalan individu atau LSM semata, melainkan pintu masuk aparat kepolisian untuk membongkar praktik yang lebih besar.
> “Kalau RSUDAM berani memberi uang ke LSM, pasti ada kepentingan apa yang mereka lindungi. Pertanyaan besarnya : kenapa instansi pemerintah merasa perlu ‘membayar uang damai’? Pasti ada sesuatu yang tidak beres. Polisi jangan hanya memproses penerima, tapi juga pemberi. Ini bukan insiden tunggal,” tegasnya.
Sekretaris Umum LSM Pro Rakyat Johan Alamsyah, S.E bahkan mengingatkan, pola serupa pernah terjadi dan mencuat sebelumnya.
> “Kita masih ingat, Dinas BMBK Provinsi Lampung beberapa waktu yang lalu juga pernah terseret kasus serupa, pemerasan. Artinya, pola ‘uang damai’ atau ‘uang tutup mulut’ bisa jadi sudah sistematis di sejumlah dinas. Kasus RSUDAM hanya puncak gunung es. Tim penyidik Polda harus berani masuk lebih dalam, jangan berhenti di satu kasus, Kapolda Lampung harus menjadikan atensi, sebagai bagian upaya reformasi kepolisian, adil dan transparan” katanya.
Menurut LSM Pro Rakyat, praktik semacam ini mencederai integritas lembaga pemerintah dan memperburuk citra penegakan hukum. Jika benar uang diberikan untuk mengamankan masalah internal rumah sakit, itu sama saja dengan “membeli kediaman aktivis” dan menutupi kemungkinan adanya dugaan penyimpangan anggaran atau pelayanan publik.
> “Ini momentum penting. Kepolisian jangan hanya menjerat aktivis, tapi juga bongkar siapa saja pejabat yang berani keluarkan dana untuk bungkam kritik. Kalau tidak, publik akan melihat penegakan hukum tebang pilih dan melindungi oknum pejabat, mencederai program Asta Cita Presiden dan program Reformasi Kepolisian” ujar Ketua Umum LSM Pro Rakyat.
LSM Pro Rakyat mendesak Polda Lampung membuka kronologi dan barang bukti secara transparan, uang dari mana, atas dasar apa diberikan, dan siapa yang memerintahkan. Mereka juga mendorong agar kejadian ini ditelusuri ke dinas-dinas lain yang rawan praktik serupa.
> “Kalau hanya LSM yang diproses, sementara pemberi dibiarkan, ini sama saja mengorbankan aktivis. Padahal hukum harus adil, siapa pun yang memberi atau menerima uang haram tetap salah. Polisi jangan berhenti di permukaan, ini waktunya bongkar jaringan sistematis di balik ‘uang damai’ instansi pemerintah,” pungkas Sekretaris Umum LSM Pro Rakyat.
Kasus penangkapan Ketua Umum GEPAK, Wahyudi, bersama rekannya, seolah hendak dijadikan potret “LSM nakal” yang doyan memeras. Namun, klarifikasi yang Wahyudi (GEPAK) sampaikan justru menyingkap borok yang lebih besar, praktik “uang damai” di tubuh instansi pemerintah.
Pertanyaannya sederhana, jika tidak ada yang salah di RSUDAM, mengapa muncul tawaran uang damai atau proyek? Bukankah itu isyarat adanya sesuatu yang ditutup-tutupi?
Fenomena ini bukan baru kali ini terjadi. Dinas BMBK Provinsi Lampung pun pernah mencuat dengan isu serupa: tawar-menawar, pembungkaman kritik, dan upaya “menyelesaikan masalah” lewat kantong plastik berisi uang. Pemerasan.
Polanya sama. Skemanya berulang. Pertanyaannya, sampai kapan dibiarkan?
LSM Pro Rakyat mengingatkan, jangan hanya berhenti pada penerima. Jika polisi serius menegakkan hukum, mereka wajib mengungkap siapa pemberi, siapa pengendali, dan apa motifnya. Jangan sampai publik hanya disuguhi drama penangkapan aktivis, sementara pejabat yang mengeluarkan anggaran ilegal untuk membungkam kritik justru aman.
Jika pola ini dibiarkan, masyarakat akan kehilangan kepercayaan. Aparat hukum dituding tebang pilih. Instansi pemerintah makin berani menghalalkan segala cara demi meredam suara rakyat. Aktivis dicap pemeras, pejabat tetap berdiri gagah di balik meja dengan gaya korupnya.
Sudah saatnya kita bicara tegas, “uang damai” adalah bentuk korupsi terselubung. Ia membunuh integritas, menodai demokrasi, dan melukai keadilan.
Kepolisian jangan hanya jadi algojo bagi pihak yang lemah. Tugas mereka bukan sekadar menahan, tapi juga membongkar jaringan. Transparansi adalah harga mati. Uang apa yang keluar dari RSUDAM? Atas perintah siapa? Dan sudah berapa lama praktik ini berlangsung?
Publik menunggu jawaban. Kalau tidak, kasus Wahyudi hanyalah satu dari sekian banyak “jebakan” yang disiapkan untuk mengorbankan aktivis, sementara permainan busuk, korupsi, di instansi pemerintah terus berjalan tanpa tersentuh.
Lampung butuh pembersihan total. Bukan pencitraan, tapi keberanian. Inilah momen reformasi kepolisian.(AAN)