HARIAN UMMAT-LAMPUNG Renungan mendalam dilansir Agus Setiawan S.Ag di Grup WhatsApp (WAG) KOMPAK (Komunitas Pengusaha dan Konsumen), Forum Silaturohim dan Bisnis terbesar di Sai Bumi Ruwa Jurai, Lampung yang didirikan Budiono CPL, C.E.O dan Pemimpin Redaksi Harian Ummat.
Pria bertubuh subur yang akrab disapa Ustadz Iwan Imoetz itu mengajak mengambil ibroh (pelajaran besar) dari fakta ironis gagal berangkatnya Haji Furoda, program haji bagi kelompok warga kelas Sultan di Indonesia. Bahkan Wakil Bupati Lampung Selatan, Saiful termasuk calon jama'ah Haji Furoda 2025 yang gagal berangkat.
Ketika Visa Langit Ditutup, Haji Seharga 373,9 – 975,3 Juta Batal
Haji itu untuk orang mampu. Namun, itu belum cukup ketika Allah belum mengizinkan. Banyak orang super kaya, bisa membeli apa saja. Termasuk membeli tiket haji furoda yang harganya antara 373,9 – 975,3 juta. Harga semahal itu semua kandas saat Saudi tak mengeluarkan visa. Mari kita ungkap sambil seruput kopi, wak.
Rp 975.300.000. Angka ini cukup untuk membeli satu unit rumah minimalis di pinggiran Jakarta, satu buah Alphard baru, atau menyekolahkan anak sampai ke Jerman sambil nyambi liburan ke Swiss. Tapi tahun ini, angka itu cuma berakhir sebagai tiket ke tanah harapan yang tak pernah dikunjungi, Tanah Suci yang menolak dengan sunyi.
Haji Furoda. jalur istimewa, undangan khusus dari Kerajaan Arab Saudi. Bukan kuota reguler. Bukan Haji Plus. Ini adalah tiket langit untuk para sultan bumi. Yang menolak antre 30 tahun seperti rakyat jelata. Yang ingin bypass ke surga dengan cepat, senyap, dan mahal. Tapi rupanya, surga bukan seperti konser Coldplay, tidak bisa beli tiket VIP hanya karena saldo rekening ente enam digit di depan koma.
Menurut Ketua Umum Himpuh, Muhammad Firman Taufik, tahun 2024, biaya haji furoda berkisar dari Rp 373,9 juta hingga Rp 975,3 juta. Sementara haji plus mulai dari Rp 159,7 juta. Di atas kertas, perbedaan ini sepadan, fasilitas mewah, hotel mepet Masjidil Haram, makanan halal yang lebih halal dari halal, dan tentu saja, wibawa spiritual eksklusif. Tapi apa daya, ketika gerbang langit enggan terbuka, semua itu hanya jadi mimpi dalam koper Samsonite.
Arab Saudi menutup penerbitan visa furoda tanpa keterangan. Tanpa klarifikasi. Tanpa permisi. Seperti pacar ghosting setelah dua tahun pacaran dan sudah nonton acara keluarga. Direktur Jenderal PHU, Hilman Latief, bahkan mencatat, dari kuota haji reguler sebanyak 203.320, hanya 203.279 visa yang terbit. Sisanya? Hilang seperti harapan jemaah mujamalah. Bahkan 41 visa yang sudah “dalam proses” pun akhirnya dicoret dari kehidupan, dan mungkin dari histori browser.
Menteri Agama Nasaruddin Umar berkata, ini bukan hanya masalah Indonesia. Banyak negara lain mengalami nasib serupa. Artinya, ini bukan kegagalan lokal. Ini semacam tsunami spiritual global, di mana jemaah kaya dari seluruh dunia serempak ditolak oleh langit. Betapa adilnya Tuhan: menampar semua kalangan tanpa memandang kurs mata uang.
Tapi jangan salahkan pemerintah. Komnas Haji bilang, ini murni urusan bisnis. Salah sendiri terlalu berharap pada sistem yang lebih banyak menjual mimpi dari kepastian. Salah sendiri kalau terlalu yakin bahwa uang bisa membeli apapun, bahkan rukun Islam kelima. Salah sendiri karena mengira visa itu hak, bukan kehendak.
Lihatlah para jemaah furoda yang gagal itu. Wajah-wajah kecewa, koper premium, dan ihram impor yang batal disentuh debu Arafah. Mereka pulang ke rumah, bukan dengan oleh-oleh zamzam, tapi dengan beban mental seberat 975 juta. Sementara di ujung kampung, Pak Dullah, yang 17 tahun jualan es tebu di pasar, justru berhasil berangkat lewat jalur reguler, dengan sandal swallow, doa ibu, dan air mata tulus.
Inilah realitas ibadah yang tak bisa dicicil. Bahwa panggilan haji bukan sesuatu yang bisa dibeli dengan kilauan emas, atau dikunci dalam kontrak legal. Visa itu hanya terbit ketika Tuhan berkenan. Sebab Tuhan tidak bisa disuap. Surga tidak bisa disponsori. Ka'bah tidak bisa dibooking via travel agent yang menjanjikan “jalur cepat ke akhirat.”
Maka tahun ini, haji furoda bukan hanya gagal berangkat. Ia gagal membuktikan bahwa uang adalah segala-galanya. Sebab di hadapan Tuhan, saldo rekening tak lebih penting dari niat. Visa langit, sayangnya, tidak bisa dicetak dari mesin ATM.